Hilang
4:32:00 PM
Bagaimana bisa aku berubah menjadi seseorang yang asing? Aku tahu semua
orang berubah, aku sadar aku akan terus berubah. Entah menjadi seseorang yang
lebih baik atau lebih buruk, tapi aku tidak pernah tahu aku bisa kehilangan
diriku sendiri seperti ini. Aku tidak pernah terjebak oleh segala macam jerat
yang dunia ini suguhkan--cinta, popularitas, uang, apapun itu, aku tidak pernah
terjebak!
Aku ingin berteriak. Memanggil diriku yang dulu untuk kembali lagi. Aku
tidak tahu siapa yang sedang bersemayam dalam tubuh ini. Dia terlalu berbeda
dari aku yang dulu. Aku sungguh ingin keluar dan berlari mengejar diriku yang
dulu.
Aku sudah lelah menggerutu. Berkata pada diriku sendiri untuk kembali
menjadi orang yang aku kenal. Semua yang telah tertinggal di belakang, semua
yang telah pergi berlari meninggalkanku, aku ingin sekali berlari mengejar
mereka. Satu persatu. Sepotong demi sepotong. Aku ingin bisa menjadi diriku
yang dulu. Aku benci melihat tubuh cokelat dengan goresan luka yang setengah
kering dan bebat pada setengah wajah yang terus menerus menangis. Aku tahu aku
lemah--entah dulu atau sekarang--tapi aku tidak pernah selemah ini. Aku tidak
pernah berubah menjadi lemah hanya karena apa yang aku inginkan tidak aku
dapatkan. Aku sudah paham bahwa hidup ini bukan tentang mendapatkan apa yang
kita inginkan,tapi tentang mensyukuri semua yang kita dapatkan. Aku sungguh
telah paham. Semua pemahaman baik yang mereka coba jejalkan padaku kini, aku
sungguh telah memahaminya. Diriku yang dulu telah paham.
Mataku kembali terasa panas. Dadaku sesak lagi. Sudah dua minggu ini
semua hal yang berhubungan dengan menangis selalu aku alami, seharusnya hal itu
menjadi sangat biasa untukku. Tapi bagaimana bisa aku terbiasa dengan rasa
sesak yang menghimpit dadaku? Semua kenangan tentang diriku yang dulu selalu
saja membuatku menangis. Aku masih begitu menyayangi wanita yang sudah pergi
itu. Bagaimana bisa waktu yang hanya sepersekian detik mengubah segalanya? Melepaskan
diriku yang belum pernah benar-benar meninggalkanku hingga saat itu?
Sepersekian detik saja, aku sadar aku akan terjatuh menuju sungai yang
berada tepat di bawahku. Aku masih sempat terkagum-kagum oleh keindahan sungai
itu, meski tentu saja semua rasa takut, gelisah, dan cemas lebih mendominasi.
Aku berteriak sekeras yang kubisa, berharap orang yang mendengar akan datang
untuk menolong. Bukannya semakin banyak orang yang datang, tarikan gravitasi
justru semakin mempercepat proses jatuhku ke sungai yang terlihat dalam dan
bersih itu. Aku menutup kelopak mataku, tidak sanggup menyaksikan bertemunya
badan kurus ini dengan air sungai yang terlihat jernih. BUK! Kepalaku terasa
sakit, sepertinya aku menghantam batu besar yang sempat kulihat tadi. Kepalaku
terasa berdenyut-denyut, tangan dan kakiku nyeri, sendi-sendiku ngilu, bau
darah mendadak menyergapku, dan aku tak sanggup menahan semua itu. Kubiarkan
aliran sungai membawaku, setiap kali menghantam batu yang cukup
besar—setidaknya bisa dijadikan pegangan—aku menggapai-nggapai, berusaha sekuat
tenaga untuk melawan arus dan menyelamatkan diriku sendiri. Semakin lama aku
berada di sungai itu, semakin sering terdengar suara berdebam karena hantaman
batu yang menyisakan perih. Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk
menyelamatkan diriku sendiri, aku tidak akan menyerah segampang itu. Hidupku
terlalu berharga untuk kuserahkan begitu saja, tapi apa daya. Rasa sakit yang
semakin lama semakin bertambah membuatku perlahan-lahan kehilangan kesadaran.
Entah apa yang terjadi setelah itu. Yang jelas, aku masih bisa membuka
mata dan merasakan sakit di sekujur badanku—entah berapa hari atau jam atau
apapun setelah aku kehilangan kesadaran. Tepat pada saat itu, pada saat aku
membuka mata dan menatap sekitar, aku sadar diriku yang dulu telah pergi. Aku
menangis. Tangisan tanpa suara yang menambah perih karena melewati luka yang
masih basah.
Sekarang pun, aku menangis mengingat kejadian itu. Diriku yang baru
tidak akan bisa menjadi seperti dia, yang sudah melalui berbagai proses
pendewasaan dan memahami berbagai pemaham hidup yang baik. Ah, atau mungkin
bisa? Bukankah bisa jadi diriku yang dulu masih bersamaku? Bersemayam dalam
tubuhku? Mungkin dia masih koma, atau masih tertidur dan bersembunyi. Aku
menguatkan diriku sendiri. Kemungkinan-kemungkinan yang baru saja melintas
membuatku bersemangat. Aku harus membangunkannya! Atau kalau memang dia sudah
pergi, aku bisa menjadi seseorang yang lebih baik dari dirinya. Senyumku
mengembang. Setelah sekian lama, akhirnya aku tersenyum lagi. Senyum tulus yang
damai, bukan penuh kepalsuan seperti yang akhir-akhir ini aku tunjukkan. Aku
masih punya harapan. Hidupku masih sama berharganya dengan yang dulu. Aku
tersenyum semakin lebar.
0 komentar