Nyonya Link

8:00:00 AM

oleh : Susan Daniels Adams


Usiaku 18, akan mulai kuliah, dan tak punya uang. Untuk mencari uang, aku menyusuri jalanan sepi rumah-rumah orang tua, menjual buku dari rumah ke rumah. Waktu aku mendekati sebuah gerbang, seorang wanita tinggi yang cantik berusia 80-an datang ke gerbang mengenakan kimono. “Kamu datang juga, akhirnya! Sudah lama saya menunggu! Tuhan memberitahu saya bahwa kamu akan datang hari ini.” Nyonya Link memerlukan bantuan merawat halaman dan rumahnya, dan rupanya akulah bantuan itu. Memangnya aku siapa berani mendebat Tuhan?

Keesokan paginya aku bekerja selama enam jam, pekerjaan paling giat yang pernah kulakukan. Nyonya Link menunjukkan cara menanam bibit, bunga dan rumput apa yang dicabut, dan tempat memindahkan tanaman layu. Aku mengakhiri hari itu dengan memotong rumput dengan mesin pemotong yang kelihatan antik. Waktu aku selesai, Nyonya Link memuji pekerjaanku dan melihat pisau mesin pemotong rumput itu. “Sepertinya kamu tadi menghantam batu. Saya ambil dulu kikirnya, ya.” Aku segera mengerti kenapa semua benda milik Nyonya Link kelihatan antik, tapi masih dapat dipakai seperti baru. Untuk enam jam kerja, ia memberiku cek senilai tiga dolar. Waktu itu tahun 1978. Tuhan itu kadang-kadang lucu, ya?

Minggu berikutnya aku membersihkan rumah Nyonya Link. Ia menunjukkan cara menyedot debu permadani Persia antiknya dengan penyedot debu yang kelihatan antik. Waktu aku membersihkan hartanya yang indah, ia bercerita tentang tempat-tempat ia membeli benda-benda itu saat mengelilingi dunia. Untuk makan siang ia memasak sayuran segar dari kebunnya. Kami makan bersama dan bersenang-senang bersama.

Beberapa minggu aku menjadi sopirnya. Hadiah terakhir dari Tuan Link untuk Nyonya Link adalah mobil baru yang bagus. saat aku bertemu Nyonya Link, mobilnya sudah 30 tahun, tapi masih bagus. Nyonya Link tak dapat punya anak, tapi adik dan keponakannya tinggal di dekat situ. Tetangganya juga menyukainya dan ia aktif dalam kegiatan sosial.

Setahun setengah berlalu sejak aku bertemu dengan Nyonya Link. Sekolah, pekerjaan, dan gereja menghabiskan sebagian besar waktuku, dan aku makin jarang bertemu dengan Nyonya Link. Aku mencarikan gadis lain untuk membantunya mengurus rumah.

Hari Valentine hampir tiba, dan karena aku sangat tidak demonstratif dan tak punya uang, daftar orang yang kuberi kado valentine hanya sedikit saja. Ibu melihat daftarku dan berkata, “Kamu harus memberi kado untuk Nyonya Link.”

Aku bertanya dengan rasa tak percaya, “Buat apa? Nyonya Link punya banyak keluarga, teman, dan tetangga. Ia aktif dalam lingkungannya. Aku sudah jarang bertemu dengannya. Apa dia mau kado valentine dariku?”

Ibu tidak terkesan. “Cari kado valentin untuk Nyonya Link,” desaknya.

Pada Hari Valentine aku memberi Nyonya Link seikat bunga, yang diterimanya dengan senang hati.

Dua bulan kemudian, aku mengunjungi Nyonya Link lagi. Di tengah-tengah lemarinya, dalam ruang tamunya yang penuh barang indah,tampak bunga Hari Valentine dariku yang sudah layu—kado valentine satu-satunya yang diterima Nyonya Link tahun itu.


Chicken Soup for the Teenage Soul

You Might Also Like

0 komentar