Tidak Ada Suara
9:10:00 AM
****
Meila diam. Asik dengan pikirannya sendiri ketika
ia tiba-tiba mendapat bejibun sms dari orang-orang yang menyayanginya. Ayah.
Bunda. Kak Joe. Rino. Rina. Anis. Dan ya, Meila bosen dengan kesehariannya yang
seperti itu. Setiap dia membuka hp, pasti selalu ada sms semacam itu.
Alasannya? Karena dia sekarang sedang berada di sebuah desa terpencil yang
bener-bener terpencil sampe enggak ada sinyal buat hp. Makanya, setiap hari
Minggu Meila menyempatkan waktu untuk berjalan kaki ke kabupaten yang lumayan
jauh dari desa tempatnya tinggal hanya demi sebuah sinyal. Padahal yaah, bisa
dibilang Meila bukan jenis cewek yang minim perhatian. Sejak kecil, dia
bener-bener berlimpah kasih sayang dan perhatian. Sampe-sampe semua perhatian
yang diidam-idamkan orang lain dengan gampangnya dia dapatkan, dan apa yang dia
rasakan? Biasa aja. Karena ya emang sejak kecil dia sudah terbiasa dengan itu
semua. Tangannya sibuk menekan tombol hp untuk membalas sms ketika tiba-tiba
ada anak kecil yang menghampirinya dengan pakaian yang tidak layak dan muka
lesu. “kak. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu? Kenapa aku tidak bisa
mendengarkan apapun? Kenapa sepi sekali? Kenapa tidak ada suara didalam sini?”
setelah ngomong kayak gitu, anak itu langsung berjalan pergi. Aneh. Nanya kok
enggak nunggu jawabannya. Main nyelonong pergi aja. Sebenernya niat mau tau
jawabannya apa enggak sih? Eh, tunggu. Tunggu. Tapi kan lagian aku enggak tau
jawabannya. Pertanyaan macam apa lagi itu? Mungkin dia tuli. Makanya enggak
bisa denger. Kok anaknya jalan lagi ke arah sini? Mau ngapain tuh?
****
Aku selalu percaya pada ketentuan Sang Pencipta.
Aku selalu berharap, apapun yang terjadi padaku, entah itu kebahagiaan atau
kesedihan adalah sebuah takdir yang harus aku jalani. Takdir yang akan
membawaku menuju akhir dari jalan panjang bernama “hidup”. Mungkin sudah
takdir, ketika aku bertemu anak kecil itu. Mungkin juga takdir yang membuatku
terlihat bodoh karena mengendap-endap mengikuti langkah kecilnya. Kalau kau
bertanya padaku, apakah aku menyesal mengikuti anak itu, jawabannya adalah
tidak. Karena ...
Dari anak kecil itulah aku mengerti beberapa hal.
Dia masih berumur 6 tahun. Badannya kurus, perilaku tubuhnya sangat menunjukkan
kalau dia beda dengan anak normal (baca : abnormal), dan entahlah. Dia punya
sebuah aura yang membuatku tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang dia.
Aku berhenti ketika dia menoleh padaku. “kau tertarik untuk masuk ke sini? Ke
dalam sini? Ke sebuah dunia tanpa suara?” dia diam. Sepertinya menunggu
jawabanku. Aku juga diam. Bingung dengan keselurahan cerita ini. Oke, tapi aku
sudah terlanjur berjalan ke sini untuk mengikuti anak ini. Jadi kuputuskan
untuk mengangguk. Anak itu tersenyum. Lalu terus melangkah sampai akhirnya dia
diam di depan sebuah rumah besar, yang jarang bahkan cenderung tidak pernah aku
temui di kabupaten ini. Dan dia mengulurkan tangannya padaku. Sepertinya
mengajakku bersalaman. Aku gapai tangan kecilnya, lalu dia membisikkan sesuatu.
Aku terenyak. Dia diam, kemudian pergi. Aku masih diam setelah anak itu
membisikkan sesuatu.
***
Aku berada dalam sebuah dunia dimana benar-benar
tidak ada suara. Di sini hening. Nggak ada suara. Dan aku yakin seratus persen
bahwa aku tidak tuli, aku normal dan tidak punya gangguan sedikitpun. Aku
enggak gila! Astaga!!!!!
Dan dari situlah kehidupan baruku dimulai.
Awalnya, otakku seperti pemutar film yang menyetel semua memoriku. Acak memang,
tapi lama-kelamaan aku tahu apa temanya. Pengorbanan. Hal-hal baik yang pernah
dilakukan oleh orang-orang yang menyayangiku. Kemudian muncul ingatan yang lain
tentang aku yang tidak mengacuhkan mereka, bahkan aku terus menuntut dan
meminta mereka memberikan lebih daripada itu. Kemudian ada sebuah ingatan, ketika
orang-orang yang sedari tadi aku lihat dalam ingatanku meninggal. Setelah itu,
sudah. Selesai. Mungkin untuk kali ini filmnya cukup sekali diputar. Karena
selama ini, apa yang aku lihat hanyalah film itu. Tapi ada yang aneh. Aku mulai
mengusap pipiku. Sepertinya aku menangis. Benarkah? Kenapa? Aku nggak ngerti.
Aku hanya melihat sebuah ingatan dan... awwww. Rasa sakit apa ini? Aku tidak
sedang atau baru saja melakukan apapun. Aku hanya diam dan kenapa ada rasa
sakit? Dan ya, apa kau mengira namaku Meila? Bukan, lagipula siapa itu Meila?
Namaku Riris. Dan kau harus tau, aku bukan orang yang bertimbun kasih sayang
dan perhatian. Tidak. Karena aku merasa tidak pernah diperhatikan. Padahal aku
bukan anak orang kaya, aku hanya anak pedalaman yang harusnya dan biasanya
mendapatkan perhatian penuh dari orang tuaku. Tapi tidak. Dan kau tahu kenapa?
Karena mereka dengan sangat tega meninggalkan aku. Pergi ke pangkuan Sang
Pencipta tanpa mengajakku! Dan inilah aku, seorang gadis bernama Riris yang
hidup dalam keheningan. Di dalam sini, sudah tidak ada lagi suara. Yang
terdengar hanya hening. Karena aku tidak punya kenangan baru. Karena semuanya
seperti membeku. Persis ketika mereka semua pergi. Tepat di saat itu. Dan aku,
aku hanya bisa mendengarkan keheningan di dalam sini. Karena seluruh organ
dalam tubuhku berusaha mati-matian untuk menahan dan menyembunyikan rasa sakit
dalam diriku. Semuanya. Rasa sakit karena ditinggalkan, rasa sakit karena
menyia-nyiakan, rasa sakit karena rasa bersalah, rasa sakit yang datang teramat
sakit. Bahkan airmataku sudah berhenti beroperasi. Karena dia terjatuh ke dalam
hatiku. Semuanya penuh sesak. Hingga tidak ada lagi ruang untuk mendengarkan
suara orang lain. Sudah. Sudah cukup apa yang aku dengarkan selama ini, suara
tubuhku yang mengaduh kesakitan. Aku sudah teramat sakit. Tapi entah kenapa,
kali ini airmataku berhasil keluar. Tidak lagi terjatuh dalam hatiku. Dan
perlahan-lahan aku bisa melihat sekelilingku. Bukan lagi melihat kenangan dan
diriku sendiri yang kesakitan. Aku melihat ada seorang wanita yang sedang
memelukku. “Ikhlaskan semuanya.. semuanya hanya harus diikhlaskan.. jangan
begini.. ikhlaskan saja semuanya..” bahkan airmatanya juga ikut membasahi
bajuku. Anak kecil yang berdiri di belakangnya pun ikut menangis. Sebenarnya, berapa
banyak hal yang sudah aku lewatkan? Berapa banyak hal yang tidak aku tahu,
karena kesunyian ini? Astaga. Apa katanya? Ikhlas-kan? Apanya? Apa yang harus
diikhlaskan? “Semuanya.. semuanya. Ayo ikut aku. Kita berdoa pada Sang
Pencipta. Kita minta apa yang kita mau. Ayo ikut aku. Jangan takut. Aku Meila.”
0 komentar