Berjalan Lagi

9:17:00 AM

Aku suka hujan. Ketika suaranya mampu meredam segala kebisingan yang ada. Aku suka malam. Ketika dinginnya menusuk sampai ke tulang. Aku suka sendiri, kalau kesendirian itu bisa membuatku bebas. Bebas dari berpura-pura. Bebas mengekspresikan apa yang aku rasakan. Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Meski aku yakin kau tak bisa mendengarnya. Karena aku tidak akan bisa megeluarkan suara untuk menjawab pertanyaanmu.



“Naya! Plis deh, aku lagi nanya sama kamu. Aku lagi nungguin jawabanmu! Kenapa kamu lama banget sih, mikirnya? Emang hal-hal yang kamu suka tu segitu banyak ya? Sampe-sampe mikirnya butuh waktu berjam-jam..”

“Alan, tolong doong.. kecilin suaramu, ngomongnya juga enggak usah langsung banyak gitu. Aku kan jadi harus super konsentrasi buat ngerti semua omonganmu. Susah deh ngomong sama kamu.”

“Nggak usah ngalihin pembicaraan gitu deh. Aku kan lagi nanya. Kenapa enggak cepet kamu jawab?”

“Ehm. Jadi ada yang ngebet banget pertanyaannya mau dijawab nih yaaaa...”

“Naya.. aku lagi enggak bercanda. Informasi ini tuh penting banget buat aku.”

“Aku udah jawab kok”

“Boongnya jelek banget, deh”

“Beneran! Aku udah jawab. Kamunya aja yang enggak denger.”
           
Mana mungkin kamu menganggap aku penting. Mana mungkin kamu sanggup mendengarkan hal-hal kecil yang aku katakan. Kamu adalah seorang Alan yang begitu disayangi. Oleh siapapun. Hal yang aku percaya adalah, kamu melakukan semua itu karena kamu sedang melakukan hal-hal bodoh yang tak pernah aku mengerti. Meskipun jujur, semua hal yang kamu tunjukkan padaku selalu berhasil membujuk hatiku untuk percaya padamu. Tapi pada akhirnya, diriku dengan sangat cepat menolak untuk mempercayai kamu. Karena kamu adalah Alan.
************
            Aku sedikit terkejut melihat ekspresimu. Aku tidak bertanya sesuatu yang aneh. Aku hanya  menanyakan hal-hal yang kamu suka. Dan astaga, itu ekspresi terkejut yang luar biasa. Tetap ada binar kecantikan yang selalu aku suka dari kamu. Terus saja berpikir. Dan terus saja berkata dalam hatimu. Setidaknya aku punya kesempatan untuk menatapmu. Huh. Semua kesenangan ini rasanya sebentar lagi membuatku gila.
            Apa kamu pikir aku tidak bisa mendengar suara hatimu? Yang benar saja! Memangnya siapa yang bisa mendengarkan suara hati orang lain? Tapi aku tahu apa yang kamu sukai. Aku hanya ingin memastikannya hari ini. Tapi kau malah berbohong. Kau bilang, kau sudah memberitahuku. Apanya yang memberitahu? Kau cuma diam, membuatku tak berpaling menatapmu. Dan kau bilang sudah memberitahuku? Benar-benar. Bahkan setelah itu kau langsung pergi tanpa mengatakan selamat tinggal. Apa nantinya tidak apa-apa kalau aku juga seperti itu? Apa kau akan baik-baik saja kalau aku begitu?
************
Oke. Mungkin ini saatnya. Aku harus serius dihadapan dia. Sekali lagi. Yang terakhir. Setelah ini, aku pergi. Janji.
“Naya!”

Oke. Mungkin aku harus ngasih tau dia semuanya. Sekarang. Karena lama-lama tusukan angin malam juga tidak membantu. Oke. Nengok, Nay! Sekarang!
“Ya?”

“Tumben mau dipanggil. Biasanya ngacir.”

“Lama-lama kasian sama kamu. Tiap aku ngacir, pasti kamu ikutin. Dan habis itu kamu pasti berenti gara-gara kecapekan. Hahahaha.”

“Gitu dong, dari dulu.”

“Hah?”

“Kalo kamu emang ngerasa enggak nyaman sama semua pernyataanku, ya jangan sampe kita jadi kayak enggak kenal gitu. Kayak kemaren-kemaren. Kenapa enggak kayak gini aja? Jadi temen biasa, kalo kamu emang enggak mau percaya sama apa yang aku omongin.”

“Menurutmu, kenapa aku enggak percaya sama kamu?”

“Instingmu.”

“Cuman gara-gara itu? Gara-gara insting dan feeling yang belom tentu bener? Menurutmu aku bakal ngikutin apa kata mereka?”

“Yap. Kamu adalah seorang Naya yang enggak pernah bisa percaya sama aku. Tunggu.. 2 kali aku bilang aku suka sama kamu, dan kamu enggak percaya. Itu lebih parah daripada nolak, tahu nggak sih?”

“Kenapa?”

“Karena aku harus bikin kamu percaya sama apa yang aku omongin. Baru kamu bisa jawab dan aku bisa menentukan sikap. Kalo sekali lagi, aku bilang sama kamu, kamu bakal percaya?”

“Kamu tahu semua hal yang aku sukai kan?”

“Hujan. Dingin. Sakit. Sendiri.”

“Alasannya?”

“Aku yakin cuma kamu yang tau. Sama kayak alasan kamu enggak percaya sama aku. Cuma kamu yang tau.”

“Mereka semua berhubungan. Bayangin apa yang bakal seorang cewek lakuin kalo udah ujan, kedinginan, ngerasa sakit, dan sendirian.”

“Nangis.”

“Hahahaha. Kayaknya penghuni bumi ini pada tau semua ya, kalo cewek tu keliatan lemah.” Aku berhenti. Bersiap-siap melanjutkan semuanya. Aku pikir dia akan memotong apa yang akan aku katakan, setidaknya menanggapi. Tapi dia hanya diam. Menunggu. Selalu seperti itu.

“Namaku Naya. Aku cuma cewek super enggak banget buat kamu. Dan kenapa kamu bilang kamu suka sama aku? Cinta itu rasionalitas sempurna. Harusnya. Dan aku mau berpikir realistis. Cinta enggak butuh alasan. Alasanmu suka sama aku, karena kamu kasian kan? Karena hatimu bergetar setiap kali liat aku nangis dan kesakitan. Suka? Kamu pikir getaran itu yang namanya suka? Semua itu cuma perasaan iba seorang Alan buat Naya. Enggak pernah lebih. Kenapa kamu selalu berhenti ngikutin aku? Karena kamu mau ngerasain getaran itu lagi. Di depan matamu, aku bakal jalan sendirian. Dan itu bakal bikin kamu ngerasain getaran itu lagi. Kamu mau ngeyakin diri kamu sendiri kalo kamu beneran suka sama aku. Salah, Lan! Sejak awal, kamu salah ngasih nama buat getaran yang kamu rasain. Getaran yang kamu kasih nama ‘suka’, itu bukan suka, Alan. Itu karena kamu kasihan sama aku. Ngelihat aku jalan sendirian di tengah keramaian, aku yang suka hujan, dingin, sakit, dan sendiri.. itu bikin kamu bergetar karena rasa iba. Jadi mana bisa aku percaya sama kamu? Mana mungkin aku bisa percaya kalo kamu beneran suka sama aku. Aku tahu, Lan. Aku tahu kalo semuanya udah salah sejak awal. Sejak kamu ngasih nama buat getaran itu.”

“Aku butuh jawaban.”
Mana mungkin kamu tau apa yang orang lain rasain, Nay.

“Aku enggak bisa ngasih jawaban. Karena aku enggak percaya sama kamu. So, kenapa kita enggak jadi temen biasa? Kayak katamu tadi.”
Kalau dia benar-benar menyukaiku, dia akan mengatakan kalau apa yang aku katakan barusan salah, bukan? Atau dia akan balas mencaciku karena ke-sok-tahu-an-ku. Tapi toh dia hanya diam, tak menanggapi rentetan kalimat yang aku lontarkan. Jadi, itulah salah satu bukti kalau selama ini aku benar.

“Oke. Kita temenan biasa mulai sekarang. Oke?”

“Yap!”

“.....”
Selesai. Saatnya pergi. Selamat tinggal kamu yang tidak pernah bisa percaya padaku. Maafkanlah aku yang tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan. Karena sebenarnya aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Rasa suka itu tiba-tiba menyergapku. Kalau aku saja tidak tahu, bagaimana mungkin kamu mengklaim bahwa rasa itu ada karena getaran ‘iba’? Aku sudah menyerah meyakinkanmu. Maaf aku menyerah segampang dan secepat ini. Dan yaaaa.. biarlah seperti ini. Kalau aku dan kamu memang harus seperti ini, ya sudah.
Aku pergi. Aku akan melanjutkan jalan hidupku lagi. Aku berhenti menunggu kamu. Kalau kita memang ditakdirkan bersama, kita pasti akan bertemu lagi. Selamat tinggal ‘temanku’ Naya yang menakjubkan.


You Might Also Like

0 komentar