Belum Saatnya
11:37:00 PM
Lelaki kecil
itu terbangun dari tidur lelapnya. Tangannya mengepal menahan perih di lutut
kanan miliknya. Mungkin tadi Ibu mengoles obat, pikir lelaki kecil itu
polos. Perlahan-lahan ia bangun, berjalan tertatih-tatih mencari Ibunya.
Meski seisi rumah sudah ia jelajahi,
Ibunya tetap tak terlihat. Mungkin Ibu di halaman belakang, batin anak
itu. Ia mendekat ke pintu belakang yang menghubungkan dapur dengan halaman
belakangnya. Belum genap ia mencapai pintu, sesosok wanita cantik terlihat
duduk membelakanginya, menghadap pemandangan alam yang indah dari kursi kayu. Karena
itulah ia mempercepat langkahnya. Dua langkah menuju sang Ibu, lelaki ini
mendengar suara orang menangis. Apakah Ibu menangis?, tanyanya dalam
hati. Ia memberanikan diri untuk terus melangkah. Dan benar saja, bulir-bulir
air mata yang tumpah dari mata menawan Ibunya kini terlihat oleh mata cokelat
miliknya. Tangan kecilnya menggapai bahu sang Ibu, membuat terkejut sang
pemilik bahu. Wanita berambut panjang sepunggung ini menoleh untuk kemudian
terseyum, tapi anak polos ini justru menunjukkan ekspresi bingung. Ia tak
mengerti. Bahkan setelah ia mendengarkan celoteh sang Ibu--yang sebenarnya
merupakan alasan wanita ini menangis--ia tetap tak mengerti. Lelaki kecil ini
sungguh tak mengerti. Tapi ia kemudian memeluk Ibunya, menyerah pada rasa sakit
yang menusuk sejak ia melihat air mata itu, dan menangis bersama dengan
bidadari penjaganya.
Ia tetap tak
mengerti. Lelaki kecil ini sungguh terlalu kecil dan polos untuk mengerti.
0 komentar