Reason
8:05:00 AM
Aku ikut tertawa begitu tawa nyaringnya merangsek masuk ke
gendang telingaku. Rasanya susah untuk tidak ikut tertawa ketika sedang bersama
makhluk aneh dari planet lain ini. Suara tawa yang tadinya membahana mendadak
terdengar hambar ketika hanya suaraku yang terdengar. Reflek, aku diam dan
mengikuti ekor matanya. Kepala dan badanku berputar seratus delapan puluh
derajat(mungkin kurang beberapa derajat, 10 mungkin? Entahlah) untuk mencari
tahu penyebab diamnya. Mataku menyapu sekitar, tapi tetap tak kutemukan alasan
yang bisa membuatnya berhenti tertawa.
“Kenapa berhenti, sih?” tanyaku kembali memandangnya.
“Huh?” jawabnya malas-malasan. Oke baiklah, mungkin aku
harus bertanya sesuatu yang lebih menarik untuk membuatnya bersemangat menjawab
pertanyaanku. Tapi kan, dia memang selalu malas bicara.
“Kau memang menyebalkan!” kataku berpura-pura marah sambil
mengalihkan pandanganku. Baru beberapa detik aku menahan pose itu, terdengar
suara tawa yang memekakkan telinga. Tentu saja pada detik selanjutnya, telapak
tanganku menghantam paha dan bahunya dengan keras. Bukannya berhenti tertawa
untuk protes atau paling tidak menunjukkan ekspresi kesakitan, manusia yang
tidak pantas disebut manusia di depanku ini justru menambah volume tawanya.
Sungguh sangat menyebalkan!
“I know you have a bad feelings,” ia menghentikan tawanya secara
tiba-tiba sambil menatap mataku lurus dengan suara serius yang sudah lama
sekali tidak kudengar.
“Maaf, saya nggak bisa Bahasa Inggris, kak,” jawabku asal.
“Nggak bakal ketipu deh, ya! Udah buruan deh cerita keburu
aku masuk,” kata perintahnya benar-benar menurunkan moodku yang sudah melesat
naik. Melihatku yang hanya diam dan malas bicara, dia menepuk bahuku dan
mendorongku mundur. Ekspresi terkejutku membuatnya tersenyum lebar sambil
menahan tawa. Oh, Tuhan! Kenapa harus orang ini yang kau takdirkan untuk
bersamaku?
“See you, soon, bro” aksen yang sengaja dibuat-buat itu
membuatku menahan tawa. Kupukul-pukul bahunya lalu kemudian mendorongnya pelan.
Dia tertawa lepas dan melambaikan satu tangannya ke arahku. Langkah kakinya
yang lebar membuatnya hilang dari pandanganku dengan cepat.
Dramaku sudah berakhir, kepura-puraanku sudah mencapai garis
finish. Aku berjalan menuju parkiran untuk kembali pulang. Mataku berkaca-kaca.
Dia benar, aku memang sedang tidak baik, aku sedang menahan diri untuk tidak
menjadi gadis melow yang menyebalkan. Satu tetes air mataku turun,
mengingatkanku betapa aku sangat menyayanginya. Seorang sahabat yang selama ini
selalu ada di sampingku mendadak pergi jauh untuk waktu yang cukup lama. Aku
tidak terbiasa hidup tanpanya, jadi bisa kupastikan minggu-minggu(atau mungkin
bulan bahkan tahun) awal kepergiannya akan membuatku merasa tidak benar. Hampir
saja aku menangis sesenggukan, ketika hapeku tiba-tiba bergetar. Sambil
mengusap mataku yang sudah basah, aku mengambil handphone yang kuselipkandi
saku celanaku. Telfon. Dari makhluk aneh itu? Aku mendadak bingung. Bukannya
anak satu ini sudah di dalam pesawat? Kenapa nih? Tanyaku penasaran. Ku tekan
tombol hijau untuk menerima telfonnya, dan terdengarlah suara nyaring khas
miliknya itu.
“Nggak usah nangis, ntar aku kirimin rekaman pas aku lagi
ketawa,” ucapnya santai dengan nada khas miliknya. Gelak tawa yang terdengar
sangat hidup tiba-tiba terdengar, dan aku baru sadar kalau itu adalah suaraku.
Dia memang selalu tahu hampir semua hal tentangku. Sama seperti aku tahu bahwa
ia sekarang sedang melebarkan bibirnya untuk tersenyum dan menarik nafas lega.
0 komentar