lapis dua
12:04:00 PMpertama, gue menyampaikan permintaan maaf kalo gue ga bisa nanggepin pertanyaan di inbox satu persatu. Tapi insya Allah, pertanyaan-pertanyaan tersebut tetep gue jadikan sebagai bahan post di blog ini.
apa yang ada di postingan ini sebenernya tulisan lama gue yang gue edit ulang barangkali bermanfaat.
Lulus kuliah, gue sempat main ke Bandung buat interview di Telkom University dan ketemu temen lama gue yang iseng nanya:
“Masih suka menjadi pemain lapis dua?”
“Apa salahnya jadi lapis kedua?”
“Orang nggak bakal pernah mengenali kamu”
“Tiap orang punya peran masing-masing. lapis berapapun yang penting bisa men-deliver amanah dengan baik”
“Dunia kerja itu keras De. Gue bahkan sering dapat nasihat bahwa kita harus jadi orang yang nggak bisa ditolak oleh orang lain”
“Panggung itu milik Allah. Dia yang tahu, Dia yang menilai. Personal branding itu nggak salah. Tapi bukan itu yang utama. Dan gue nggak ngerasa perlu mempermasalahkan menjadi pemain lapis berapapun, menjadi pilihan keberapapun. Karena yang dipertanggungjawabkan di akhirat kelak adalah bagaimana kita mengelola amanah. Bukan menjadi lapis keberapa aja”
Dulu, gue pernah nonton film yang judulnya The Duff. Film ini bercerita tentang Bianca, seorang remaja yang selalu kalah pamor dengan sahabatnya. Suatu hari, Bianca menjauh dari sahabatnya karena dia merasa selalu hidup di bawah bayang-bayang sahabatnya. Bianca mencoba mencari eksistensi agar dia dikenal sebagai Bianca. Bukan sebagai teman Jess atau teman Casey.
Sebagian dari kita mungkin sepakat bahwa salah satu kebutuhan kita sebagai manusia adalah pengakuan. Tapi, semakin gue jalanin hidup, gue faham bahwa pengakuan dan popularitas itu bukan segalanya. Yang terpenting, kita bisa memberikan kasih sayang yang utuh untuk orang-orang di sekitar kita. Apa artinya tepuk tangan dari orang yang sama sekali nggak mengenal kita? Dingin sekali.
Apakah gue serendah hati itu hingga selalu mau jadi ban serep dari orang lain? Nggak juga. Gue selalu memohon kepada Allah untuk dilindungi dari rasa iri ketika bersahabat dengan orang yang jauh lebih hebat dari gue. Dunia orang dewasa itu jauh lebih penuh godaan dibandingkan dunia anak-anak.
“Lo nggak bosen dikenal sebagai temen xyz doang? Lo mestinya eksis di dunia sebagai diri lo sendiri”
“Orang yang sayang sama kita akan menganggap kita sebagai kita. Kalau masih ada orang yang mengenali kita sebagai teman xyz, itu artinya kita tidak cukup dekat”
Sejak kecil, sering banget gue ngerjain sesuatu, kemudian justeru orang lain yang dipuji karena kerjaan gue. Sering banget rasanya, gue sama-sama kerja keras sama temen gue, namun pujian yang kami terima beda.
Di sinilah gue menginsyafi bahwa manusia punya keterbatasan dalam menilai. Sementara Allah Maha Adil. Bukankah ini justeru melatih kita untuk bekerja dengan ikhlas.
Ini sebenernya kerasa naif banget sih kalo diterapin di dunia profesi.
Sebenernya nggak juga. Di dunia profesi, yang pertama harus dikembangin itu skill di bidang tempat kita kerja. Yang kedua adalah skill komunikasi. Fokuskan diri untuk menyelesaikan amanah, jangan terganggu dengan hasrat untuk diakui orang lain. Karena image personal akan terbentuk seiring dengan jam terbang kita. Jangan merasa terhina dengan hanya menjadi pemain lapis dua. Karena menjadi pemain lapis berapapun, jika kita amanah, kelak Allah yang menyiapkan panggung buat kita.
Gue juga sebenernya risih banget sih kalo dulu ada orang yang se-enak-enaknya bilang ke orang lain:
“Kerjaan lo lebih bagus dari dia, mestinya yang nempatin posisi xyz itu lo, bukan dia. Lo ga capek jadi bayangan dia terus?”
rasanya pengen gue jawab
“Lo sendiri yang bikin sudut pandang seperti itu”
Mungkin kita terlalu sering membuat perbandingan-perbandingan antara diri kita dengan orang lain sehingga kita secara nggak langsung bikin peringkat si A is higher than si B, si B is higher than si C, and si C is higher than me. So pada akhirnya, kita suka menghargai manusia berdasarkan label-label imajiner yang kita bentuk sendiri. Dan pada akhirnya, kita merasa menderita karena nama kita nggak pernah disebut oleh orang lain.
Setiap orang punya karakter yang unik. Kita harus belajar menghargai manusia sebagai individu. Bukan berdasarkan label yang mereka punya. Sebab semakin kita berfokus pada label, semakin kita kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang hebat yang tidak ditakdirkan terkenal :))
NB:
gue masih senyum-senyum sendiri baca tulisan ini dengan amanah gue yang masih keteteran banget. Semoga semakin hari gue menjadi semakin amanah. Aaamin :)
0 komentar